Thursday, May 15, 2008

Apa yang Menjadikanku ''Aku''?

Nama panjangku emang Nafisah Fattah, tapi ortu ma temen2 biasa manggil aku Eve.
Aku orang yang membuat pilihan-pilihan. Dan terkadang, pilihan-pilihan itu berubah. Ya...aku berubah. Begitulah hidup. Karena hidup selalu menawarkan pilihan-pilihan. Selalu.

Jujur, aku tidak tahu aku ingin jadi apa saat dewasa nanti.
Pilihan itu selalu ada, saat ini aku suka menulis. Tapi itu bukan diriku yang sebenarnya, itu hanya setitik minat yang berusaha aku kembangkan.

Siapa diriku selalu berubah sepanjang waktu dan aku bisa menggantinya dengan pilihan lain yang aku suka kapanpun aku mau. Aku hanya ingin mencoba segala hal, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, bersahabat seluas-luasnya.

Saat ini beratku 51 SETENGAH kilo. keluargaku suka menyebutku evie si montok. Tidak lucu. Itu akan berubah.

Aku suka pizza tuna. Itu mungkin berubah.

Warna favoritku biru. Itu juga mungkin berubah.

Apa yang kusuka? Seni, desain, Fashion. Aku benci hal-hal yang berhubungan dengan hitung menghitung dan sains. Kurasa hal itu tidak mungkin berubah, tapi siapa tahu.

Apa saja kelebihan dan kekuranganku?
- Kelebihanku adalah menulis, menulis apa...saja dan desain, mungkin itu pakaian, mungkin interior, tapi aku lebih suka interior. Kalau dipikir-dipikir, sebenarnya nggak ada nyambung-nyambungnya sama sekali antara jurusan kuliah yang kupilih dengan minat yang aku punya. Tapi entahlah, itu yang terjadi. Oya...satu hal lagi, aku bisa jadi sahabat yang baik.
- Kekuranganku adalah lemah terhadap coklat, orang yang ngasih perhatian lebih sama aku, siapapun dan makhluk apapun yang matanya kelihatan memelas. Oh, imbasnya kepada perasaan halusku. Kurang percaya diri (yang ini juga akan berubah).

Tapi yang paling penting, aku memiliki keluarga yang hangat dan teman-teman yang baik. Itu takkan pernah berubah!!!.

Tuesday, May 13, 2008

LOOK AT MY EYES, DEAR...



I love you dearly

I love you purely
I love you personally
I love you physically
I love you respectfully
I love you proudly
I love you friendly
I love you wonderfully

I love you suddenly
I love you unwittingly
I love you shamefacedly
I love you sentimentality
I love you urgently
I love you sadly
I love you silently
I love you remarkably

I love you patiently
I love you sprigtly
I love you admiringly
I love you truthfully
I love you surrenderly
I love you plainly
I love you smartly
I love you slowly but surely

I love you seriously
I love you peaceably
I love you perfectly

I swear love you...
I found you totally...


Egypt, 13 May 2008

Monday, May 12, 2008

Galau Hati...



Bila kubertanya pada hatiku?

Tentang keputusasaan yang menyergapmu

Haruskah dirimu menghamba

Pada kegelisahan yang menapak

Padahal kau tahu dan sadar

Bahwa jauh di sana masih ada

Kebahagiaan paling nyata

Ialah keceriaan bersama

Sang Pencipta Semesta



Wahai hati yang merasa galau

Hanya sujudlah yang bisa menghalau

Ranting keragu-raguan yang tumbuh

Pada jiwamu yang terguncang lesu


Sunday, May 11, 2008

"Episode Sebelum Subuh"



belum pagi...
saat percikan air wudhu
jatuh mengaliri wajahmu
saat niat menuju ampunan
penuhi relung hati yang paling dalam

belum pagi...
saat takbir kau mulai
dan kekhusyukan yang kau cari
saat tangan mulai kau tengadah
kandan airmata bening kau teteskan

belum jua pagi...
saat mulai kau luruskan niat
tuk jalani apa yang telah jadi amanat
dan malaikat pun tersenyum sepat
menyaksikan pemandangan sesaat
di tengah keangkuhan dunia
masih adakah sebagian manusia
yang mengingat pencipta-Nya

Sepenggal Episode di Bulan Ramadhan

Panas matahari siang di bulan Ramadhan yang menyengat sampai ke ubun-ubun, membuat ibu Lina ingin segera menuntaskan aktivitasnya. Belanja keperluan rumah dan segera keluar dari pasar. Wajah putih bersih itu seperti minta perlindungan dari sinar matahari yang membuat kulit hitam.

Sebenarnya bukan alasan itu yang membuat ia ingin segera sampai rumah, tapi karena ia dalam keadaan puasa yang membuat tubuhnya sudah agak lemas. Ibu Lina tahu itu dan ia sendiri juga berusaha jalan cepat agar segera sampai rumah, tapi tiba-tiba…

“Eh sepertinya dia pencopetnya, saya masih ingat dengan baju yang dipakai. Lihat plastik bawaannya, seperti punya saya. Ayo pak segera ditangkap. Di dalamnya banyak baju-baju mahal” teriaknya sengit. Rambut yang disasak tinggi nampak seperti sarang burung di atas kepala yang digoyang-goyangkan oleh tiupan angin, seolah menampakkan keangkuhannya. Tangannya menuding-nuding. Gelang keroncongnya yang diterpa sinar matahari siang, membuat silau mata yang menatapnya.

Samar-samar aku mendengar suara bising dari belakang. Tapi aku tak peduli. Saat ini yang ada dipikiranku cuma satu. Pulang ke rumah. Dan itu yang membuatku mempercepat langkahku.

“Ibu tenang saja, plastik sama bukan berarti ia pencurinya” petugas berusaha menenangkan seorang wanita empat puluh tahunan yang sudah terlanjur emosi

“Iiih...pak polisi, amit-amit deh...kok bisa sih nggak percaya sama saya, apa perlu bukti lagi, pliss deh, nyebelin!!” sambil mengibaskan jari jemari tangannya yang penuh dengan warna warni kutex.

Sebagian mata orang-orang yang ada di sekitar tak lepas dari tatapan ke arah ibu tersebut. Pakaianya itu lho...ke pasar saja, kayak mau pergi ke kondangan. Belum lagi gayanya yang terkesan centil plus minyak nyong-nyong, eh salah...minyak wangi yang dipakainya. Hemm...wangi bener, orangnya sudah jauh, wanginya masih ketinggalan. Kucing saja sampai bersin-bersin pas kebetulan lewat di sampingnya.

“Maaf, bisa ibu ikut ke pos kami sebentar” tiba tiba dua satpam sudah berdiri di depanku

“Ada apa pak?” dengan kening agak berkerut aku masih belum bisa memahami apa yang terjadi sebenarnya

“Sudah, ibu ikut kami saja, nanti pasti akan tahu” lanjut salah satu rekannya. Aku yang masih belum tahu apa yang terjadi hanya mengikuti saja. Seperti kambing congek.

Di kantor polisi pasar

“Kalau ingin cepat selesai masalahnya, mohon ibu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan dengan jujur” kata petugas dengan mantapnya

“Baru saja ibu ini melaporkan kehilangan barang belanjaannya didepan toko ketika dia mau membayar, saat menoleh dia melihat ibu sempat melewatinya dan berjalan tergesa-gesa dengan membawa plastik berlebel toko yang sama” lanjutnya lagi, tangannya menunjuk seorang ibu berdandan menor yang duduk menelengkungkan kakinya sambil berkipas-kipas ria karena takut bedak yang dipakainya luntur. Dia sengaja duduk menjauh dari orang-orang sekelilingnya yang berada dalam kantor pos, takut aroma minyak wangi nyong-nyongnya nyampur sama bau-bau keringat para petugas yang ada di sana.

“Maksud bapak saya yang mencuri barang belanjaan ibu ini” kataku masih tidak mengerti dengan lirikan mata penuh warna norak eyes shadow yang ditujukan wanita itu padaku. Lirikan penuh kesombongan, juga dengki.

“Ibu sabar saja dulu, setelah kami memeriksa barang belanjaan ibu, baru kami bisa memastikan apa ibu bersalah atau tidak, sebelumnya mohon maaf. Kami hanya menjalankan tugas”

“Oh tidak apa-apa, silahkan bapak menjalankan tugas bapak dan saya tetap mempertahankan diri saya kalau saya tidak melakukan apa yang dituduhkan ibu ini” melihat penampilan dan cara bersikap ibu Lina, para petugas yang ada di pos itu sebenarnya masih ragu-ragu.

“Tapi tugas tetaplah tugas, jangan tertipu oleh penampilan” kata hati mereka berbisik pada diri sendiri

“Bisa kami melihat barang belanjaan ibu sekarang” izin salah satu petugas yang masih berusaha sopan, agar tidak menyinggung hati ibu Lina. Walaupun sebenarnya segan juga. Ibu Lina sendiri sebenarnya sudah kesal betul, tapi dia berusaha menahan diri, menahan malu juga dari orang-orang yang menonton dari balik pagar pos, sebagian malah ada yang tega menampakkan senyum ejekan.

Sambil memeriksa barang belanjaan yang ada di plastik yang berlebel. Ia menugaskan rekan petugas lainnya untuk memanggil salah satu karyawan yang bekerja di toko di tempat ibu Lina belanja.

Tidak sampai satu setengah jam pemeriksaan telah selesai, dari barang yang diperiksa tidak ada ciri-ciri barang milik ibu berdandan menor itu. Dua orang karyawan toko di mana ibu Lina membeli barang, melihat dan masih ingat dengan jelas bahwa ia baru saja belanja di tokonya dua jam yang lalu, selain itu mereka hafal wajah ibu Lina karena seringnya belanja di sana.

Akhirnya ibu Lina dipersilahkan pergi dari pos tersebut dengan alasan tidak ada barang bukti yang kuat bahwa ia mencuri barang ibu berdandan menor tersebut. Itupun tak lepas dari pandangan sinis orang-orang pasar yang tidak tahu permasalahan sebenarnya. Yang mereka tahu hanya, ibu Lina sempat dipanggil satpam pasar karena dituduh mencuri. Pegawai-pegawai toko yang dipanggil sebagai saksi tadi sudah kembali ke toko-toko di mana mereka kerja, setelah menjawab dulu banyak pertanyaan, termasuk kata-kata mutiara dari sebagian satpam iseng

“Untuk sekedar kenang-kenangan” ujar salah satu satpam konyol

Benteng pertahanannya pecah juga. Sambil berlalu dari pos menuju ke arah wilayah luar pasar. Tanpa sadar ada air bening yang terasa asin menetes dipipinya. Ia merasa sedih dan malu. Malu pada diri sendiri. Malu pada tatapan curiga orang-orang yang ada di sekitar pasar. Tapi ia berusaha tetap bertahan. Sekarang bulan Ramadhan. Bulan penuh hikmah. Tidak seharusnya ia merasa benci pada wanita menor tak dikenalnya itu. Yang menuduhnya tanpa alasan.

Yang ada dipikirannya saat ini cuma satu. “Sampai rumah, kalau tidak ingin suami dan anak-anak menghawatirkanku” pikirnya.

***

Tiga bulan telah berlalu dari kejadian yang memalukan itu. Masih seperti biasanya, ia tergesa-gesa ingin segera sampai rumah. Tanpa sadar ia merasa rindu dengan suami tercinta, dengan ucapan-ucapannya yang mengandung nasehat ”Sejelek-jeleknya tempat adalah pasar, karena disanalah terdapat manipulasi-manipulasi terjadi. Makanya kalau selesai belanja, kamu harus cepat keluar dari pasar, tidak usah menoleh kanan kiri lagi” sambil mencubit hidung dengan dua jari kekarnya. Ia tersenyum sendiri mengingatnya, mungkin juga bahagia mempunyai seorang suami yang tidak henti-henti mengisi rohaninya dengan nasehat-nasehat yang menyejukkan. Tapi tiba-tiba saja ia mendengar suara bising dibelakang seperti dulu lagi. Ia ketakutan. Langkahnya dipercepat. Ia tidak ingin kejadian lalu terulang kembali. Tapi semakin ia mempercepat langkahnya, semakin terdengar pula suara teriakan wanita menyayat hati. Ia ingin menoleh, tapi kata hatinya mengatakan jangan. Hari sudah siang, suami dan anak-anaknya pasti sedang menunggunya dirumah.

Sesampainya di rumah ia segera melakukan tugasnya, memasak, membereskan rumah dan pekerjaan-pekerjaan ibu rumah tangga lainnya.

“Telah terjadi amukan massa yang tidak bisa dikendalikan di pasar ABC, salah seorang ibu bernama Yetti, masih dengan baju ketatnya yang masih melekat dibadan jadi korban salah sasaran amukan massa yang mengejar pencopet dengan main hakim sendiri” Samar-samar ia mendengar suara newscaster menyebut-nyebut nama pasar dimana ia biasa belanja keperluan keluarga. Rasa penasarannya tumbuh juga.

“Hah itu kan ibu yang kemarin menuduhku mencuri barang belanjaannya, kenapa bisa begitu” ia masih belum begitu percaya dengan pendengarannya sendiri, mata tidak lepas dari gambar wajah yang ia yakin itu wajah ibu yang dulu pernah menuduhnya pencuri, jari lentiknya mengeraskan tombol volume televisinya agar bisa melihat dan mendengar lebih jelas. Lolongan itu, kentara sekali kalau ia merasa kesakitan yang sangat. Saat itu juga sikap centilnya berubah iba seorang pesakitan yang patut dikasihani.

Ya dia masih ingat dengan sepenggal episode di bulan Ramadhan kemarin yang terjadi pada dirinya. Entahlah itu karma atau atau bukan. Tapi ia cepat beristighfar sambil lalu mematikan televisinya.

Siang bolong di Nasr city