Thursday, June 26, 2008

ANDAI TEMBOK BISA BICARA

Nafisah Fattah

Mesir. Yang dikenal dengan negeri tua peradaban tinggi, banyak para ilmuwan yang dilahirkan dari negeri ini, aku juga tidak menyangka sampai ke negeri yang kata orang ini negeri seribu menara. Walaupun sampai sekarang aku masih belum sempat menghitung pucuk-pucuk menaranya.

Semilir angin dari pepohonan yang rindang. Untuk keadaanku yang lelah saat ini adalah tempat yang nyaman buat berlindung dari terik sinar matahari yang tidak mau kompromi.

"Masih baru adzan Dhuhur" ujarku dalam hati sambil melirik jarum jam tanganku yang menunjukkan angka setengah satu, aku mencari tempat yang pas untuk bisa diduduki.

"Ahh…segar" sambil menyeruput sedikit demi sedikit cairan dingin dari lubang kaleng Miranda yang baru kubeli dari kios terdekat. Aku mendesah sendiri, akhirnya ada juga batu tinggi, dekat tembok yang bisa buat duduk-duduk, sekalian meng-istirahatkan kaki yang sudah mulai protes. Uahh…lelahnya, ngantuk lagi.

Gelap sekali, tapi kok…seperti ada suara rintihan, sambil celingak celinguk ke kanan ke kiri aku mencari sumber suara yang semakin lama semakin jelas.

"Hiks…hiks…tolong aku"

"Kamu siapa? Jangan menangis, aku tidak kenal kamu!"

"Kamu memang tidak kenal, dan tidak akan pernah kenal aku, karena aku bukan manusia, begitupun aku tidak kenal kamu, manusia-manusia lainnya, tapi menolong tidak harus kenal kan , setidaknya kamu sebagai kaum laki-laki, mungkin tahu jawaban dari keluh kesahku"

"Hikk, kalau kamu bukan manusia terus siapa?" aku terperanjat karena saking kagetnya, sampai-sampai busa dari cairan Miranda-ku masuk ke hidung, aku tersedak.

"Aku sebuah tembok, tembok dibelakang batu yang kau duduki sekarang" lanjut suara tak dikenal itu

"Hi…hi…kamu bercanda ya…masa tembok bisa bersuara" kataku, masih tidak percaya dengan pendengaranku.

"Aku serius, eh kalau dilihat dari wajahmu, pasti kamu bukan orang sini…"

"Emang bukan, kok kamu tahu?

"Kalau melihat ciri-ciri yang ada pada kamu, siapapun pasti tahu kalau kamu orang asing, orang Indonesia , betul kan ?"

"Ahh…sok tahu!"

"Ya memang tahu, badan kecil, kulit sawo matang, hidung agak pesek…"

"Stop…stopapa terakhir kamu bilang, hidung pesek? nggak semuanya, gini-gini hidungku paling mancung sekeluarga"

"Apa…hahaha, segitu paling mancung, gimana peseknya"

"Sudah, sekarang kamu mau apa? bicaralah! setelah ini jangan ganggu aku lagi!"

"Aku ingin kamu bercerita tentang orang-orang di negaramu, tentang masalah kebersihan yang mereka jalani sehari-hari"

"Maksudmu?"

"Tadi… kan aku sudah bilang, cukup sekali bagi orang bijak!"

"Dasar! Emang kenapa kalau seandainya aku bilang mereka jorok, karena membuang sampah sembarangan, berakibat sungai-sungai keruh dan tidak jalan, akhirnya aliran sungai jadi tersumbat. Anehnya, setelah melihat dampak negatifnya, mereka bukannya sadar, malah menambah tumpukan sampah, ya sudah yang dulunya sungai sekarang malah jadi kubangan sampah. Emang kamu punya solusi biar mereka nggak seperti itu lagi"

"Ye…aku sendiri juga mau minta tolong kamu, gimana solusinya biar tiap orang laki-laki di sini, di Mesir ini nggak kencing sembarangan, seperti di tembok-tembok, di jalan-jalan, pokoknya di tempat-tempat terbuka manapun"

"Ya…itu masalahmu, kenapa mau jadi tembok!"

"Apa jeleknya jadi tembok, dari pada manusia, diberi akal tapi nggak mau menggunakan akalnya dengan baik, sama saja bohong, ya kan …banyak masjid di sekitar sini, dan tiap masjid pasti ada kamar mandinya, tapi kenapa masih menyiksaku dan teman-teman tak bernyawa lainnya dengan aroma pesing dari kencing-kencing orang tak bertanggung jawab" keluhnya.

"Kasihan kamu ya…padahal Mesir kan negara Islam, dan mereka pasti tahu dan faham betul tentang slogan 'Annadhafatu minal Imaan', betapa tersiksanya kamu, walaupun aku tidak punya jalan keluar, tapi aku juga ikut sedih, sabar ya…"

"Eh, manusia, sebenarnya aku bangga sekali bisa menjadi bangunan yang ada disini, walau hanya sekedar tembok biasa, kamu pasti tahu kan tentang budaya-budaya Mesir yang sudah mendunia, tapi…" ucapnya menggantung.

Seandainya ia manusia, aku bisa membayangkan raut wajahnya yang menunjukkan kesedihan dan rasa ketidakadilan yang berlaku pada dirinya,

"Tapi kenapa?" aku berusaha menunjukkan wajah prihatinku atas apa yang terjadi padanya,

"Aku menyesali juga budaya yang nggak ada bagus-bagusnya malah ikut di budidayakan"

"Seperti apa?"

"Ya…ini salah satunya, nggak peduli dari luar orang tersebut seperti berpendidikan atau yang tidak berpendidikan, rata-rata sama"

"Eh, bukannya mau buka aib ya…di negaraku juga ada yang orang yang tidak bertanggung jawab buang air kecil sembarangan"

"Aku tahu, tapi tidak separah di sini"

"Maksudnya?"

"Mereka masih punya malu, memilih tempat yang sekiranya orang lain tidak tahu, itupun yang melakukan seperti itu cuma orang-orang pekerja keras seperti supir truk, pedagang asongan di terminal-terminal. Kalau di sini, nggak peduli di tepi atau lagi di tengah jalan kalau sudah maunya, mau di tempat sepi atau di tempat keramaian, mereka nggak akan pikir-pikir lagi"

"Iya ya…benar juga katamu, pernah aku berjalan dan nggak sengaja sejajar dengan seorang bapak, entah kenapa bapak tersebut seperti tergesa-gesa ingin mendahului jalanku, eh…tanpa rasa malu sama sekali, tiba-tiba di depanku tepat dia langsung menuntaskan keinginanannya, buang air kecil. Ya…aku yang tidak menyangka akan menyaksikan adegan seperti itu hanya bisa melongo. Dan tanpa pikir panjang, aku langsung lari terbirit-birit, takut!, kok bisa mereka seperti itu ya…". Belum sempat aku tahu jawabannya.

***

"Hai anak muda, ngapain kamu tidur di sini, cepat pergi, aku mau buang air kecil, sudah nggak tahan nih, ma'alisy ya…" dengan logat Mesirnya yang kental, tiba-tiba seorang bapak berperut buncit membangunkanku dari keterlelapan dan menyuruhku pergi dari tempat di mana aku duduk barusan.

"Uhh…" sambil bersungut-sungut sebal aku berlalu dari tempat tadi. Karena terlalu capek berjalan jauh aku sempat terlelap sejenak sambil duduk di atas batu yang mengantarku pada mimpi tentang rintihan tembok. Entah bagaimana nasib baju yang kupakai saat ini, yang jelas pasti najis. Aku segera mencari angkutan umum yang bisa membawaku cepat sampai rumah.

"Masih pukul setengah satu lebih sepuluh menit" ujarku dalam hati ketika melirik jam tanganku untuk kesekian kalinya.

Sambil berjalan aku masih membayangkan betapa sedihnya nasib tembok yang jadi korban air kencing orang-orang tidak tahu malu.

Cairo, Gate III, September 05

No comments: