Wednesday, June 18, 2008

REFLEKSI JIWA

Berawal Dari Ketidakpercayaan Diri

Nafisah Fattah

Dia anak pertama dari lima bersaudara, adik setelahnya lahir saat dia masih berumur kurang satu tahun (kalau orang jawa bilang sundulan atau mau kembar nggak jadi, atau apalah istilahnya terserah). Sebab kehamilan itulah, otomatis ibu melepaskannya dari gendongan untuk tidak menetek lagi. Karena orang hamil juga butuh istirahat dan energi banyak, akhirnya neneknyalah yang mengambil alih untuk mengasuhnya.

Dari kecil, sejak pertama kali masuk taman kanak-kanak, dia bukanlah anak yang penuh percaya diri, selalu merasa rendah diri, tidak mempunyai kelebihan sama sekali. Pernah suatu ketika, guru mengajukan pertanyaan pada para murid, serentak mereka mengacungkan tangan, berebutan untuk menjawab. Sedangkan dia, walaupun tahu jawaban dari pertanyaan guru tersebut, hanya bisa diam. Seolah-olah bergemuruh dalam otaknya sebuah suara, kalau jawabannya itu adalah salah. Dengan perasaan sangat menyesal, dia baru mengerti setelah guru memberitahu jawaban sebenarnya dari pertanyaan yang diajukan tersebut. Ternyata jawaban beliau sama seperti apa yang ada dipikirannya. Hal seperti itu berulang-ulang dia lakukan dengan sadar karena rasa ketidakpercayaan diri yang selalu melingkupi otak dan jiwanya.

Terkadang orang tuanya merasa bingung juga atas apa yang terjadi pada putri sulungnya tersebut. Saat itu ekonomi keluarganya tidaklah sestabil sekarang. Kadang ada, kadang juga tidak ada.

Dia mulai memasuki sekolah dasar di Surabaya, kota tempat di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan sifat rendah dirinya yang masih tetap mengrogoti dengan kuatnya, walau terkadang terdetik dalam hati kecilnya mengatakan bahwa aku bisa seperti mereka, tetap saja jiwanya tidak ada keberanian untuk maju dan berani tampil di atas pentas seperti mereka, teman-teman sekelasnya. Dia juga punya harapan, ingin seperti mereka.

Sebenarnya peran ibu dan ayahnya tidaklah sedikit untuk berusaha membangun rasa percaya dirinya. Saat di sekitar kompleks perumahannya ada perlomban-perlombaan dalam rangka tujuh belas agustus-an, selalu dia diikut sertakan.

"Kalau Eve tidak menang bagaimana?" selalu pernyataan itu yang keluar dari mulutnya saat ibu mendaftarkan lomba-lomba yang diadakan oleh RT setempat.

"Yang penting Eve ikut dulu, kalau Eve berusaha, insya'allah bisa menang"

"Kalau sudah berusaha, tapi tetap kalah bagaimana, nanti Eve malu" ucapnya memelas, sambil menyembunyikan badan mungilnya dibalik tangan lembut beliau

"Malu sama siapa? sama ibu, sama ayah?, kita juga tidak akan marah kalau kamu tidak menang. Lagian Eve kan nggak cuma ikut satu lomba. Dari perlombaan-perlombaan itu nggak mungkin Eve nggak memenangkan sama sekali, pasti ada salah satu yang bisa Eve raih kemenangannya" jelasnya dengan sabar

"Tapi Eve tidak berani, kalau ditertawakan sama orang-orang yang melihat bagaimana?"

"Makanya, biar tidak ditertawakan sama orang-orang Eve harus latihan dengan giat" dukungnya

Dia mulai belajar menulis puisi bersama bibi, adik dari ibunya yang masih kelas tiga SMA waktu itu. Disuruhnya ia membuat tulisan tentang keadaan hatinya saat itu. Kalau merasakan bahagia, ungkapkan rasa bahagianya di atas kertas tanpa harus berfikir kata-kata indah yang harus dia tulis. "Yang penting tulis saja apa yang Eve rasakan saat ini!" ucapnya dengan tegas.

Hingga tiba hari pengumuman lomba membuat puisi dan langsung membacanya di depan umum saat itu juga. Dengan membangun rasa percaya dirinya sedikit demi sedikit, dia naik ke atas pentas untuk membacakan puisi hasil karyanya di depan orang tua, teman-temannya dan penduduk yang tinggal di sekitar kompleks perumahan tersebut. Karena saking konsentrasinya, dia tidak sadar puisinya sudah sampai titik akhir. Para bapak dan ibu-ibu bertepuk ramai atas penampilannya saat itu. Dia baru tahu ternyata hanya para pemenang yang membacakan puisinya di atas pentas. Dan dia meraih juara dua. dia senang dan bangga, “ternyata aku bisa” batinnya.

Masuk pesantren. Jauh dari orang tua yang selalu menggodoknya untuk percaya diri. Tahun berganti, umurnya juga mulai bertambah, tapi dia masih tetap tidak mempunyai kepercayaan diri terhadap kemampuan diri sendiri. padahal teman-teman sekelasnya banyak mempercayakan sebagian keorganisasian padanya, tapi dia tetap saja seperti itu. Tidak berubah walau sedikitpun.

Di pondok itulah dia sering membaca banyak buku, hingga suatu saat dia punya pikiran untuk menciptakan sebuah buku hasil karyanya sendiri. Tapi tetap saja rasa ketidakpercayaan pada dirinya sendiri selalu mengikutinya seperti jarum jam yang mengikuti arahnya. Dia sudah berusaha untuk menghilangkannya dengan banyak membaca puisi-puisi karyanya saat dia sedang sendiri, tidak ada kerjaan. Dan tak jarang pula dia sering membaca buku-buku biografi orang sukses.

"Kenapa aku tidak bisa seperti mereka" pikirnya dengan gregetan. “Aku juga ingin bisa berkarya, menulis sesuatu dan bisa dimuat di mana-mana” imbuhnya

Hingga dia datang ke Mesir untuk meneruskan studinya. masuk almamater yang biasa di sebut dengan IKBAL Prenduan. Beberapa bulan, saat ada perkumpulan anggota, tanpa sengaja dia disodori sebuah kertas tentang minat dan bakat pribadi, di sana ada beberapa pilihan baginya untuk memilih dan menekuni apa yang dipilih. Dia memilih minat seni dan budaya. Waktu itu dia berfikir, dengan memilih seni dan budaya, tugasnya mempelajari tentang seni dan kebudayaan yang ada. Dan sewaktu-waktu bisa mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Mesir, seperti museum-museum. Terkadang ingin tertawa sendiri kalau mengingat apa yang ada di pikirannya saat itu, maklumlah anak baru, rasa keingintahuannya tentang Mesir masih menggebu.

Seminggu dari pemilihan minat dan bakat tersebut, dia dihubungi lewat telpon agar berkumpul di sekretariat IKBAL. Karena tidak tahu apa-apa, dia datang saja. Di sana dia baru sadar ternyata seni dan budaya itu tugasnya mengumpulkan tulisan-tulisan baik berupa artikel ataupun cerpen-cerpen, terserah yang penting tulisan untuk di bedah bersama sesama kelompok pecinta seni dan budaya. kalau di FLP (Forum Lingkar Pena biasa disebut bengkel FLP). Dia bingung, dia kebagian tugas pertama dari yang lainnya untuk membuat cerpen, untuk di bedah pada minggu berikutnya. Asal tahu, saja di kelompok seni dan budaya ini dalam seminggu kita dianjurkan untuk membuat satu tulisan bagi setiap anggotanya, tetapi hanya tiga orang yang di suruh mengumpulkan tulisan tiap minggunya untuk di bedah.

Sebut saja Ibnu, koordinator bagian seni dan budaya IKBAL waktu itu. Karena di hubungi berkali-kali agar tidak lupa tugas, lama-lama dia bosan juga. Dengan perasaan sebal dia mengumpulkan tugas pembuatan cerpennya. Lahirlah "Delapan Puluh Coret Idaman para Copet" cerpen pertama yang dia buat. dia mengumpulkannya sebelum hari H nya, hari di mana cerpennya dibedah bersama teman-teman sekelompok.

Entah kenapa, malam itu dia merasa sedikit tumbuh rasa kepercayaan diri, setelah teman-teman sekelompok bilang dia punya bakat menulis. Dia mulai mendaftarkan dirinya ke FLP, dan berusaha aktif di dalamnya. Dari rasa sebal tersebut, dalam hati kecilnya dia merasa sangat berterima kasih pada teman-teman yang memaksanya terus menerus untuk menulis.

Sebagian karya tulisnya telah dibukukan dalam Kumpulan Cerpen "Nil Yang Binal"(Qalam Press), dan “Dialektika Bisu”(LSBNU Mesir). Bersamaan dengan itu rasa kepercayaan dirinya bertambah pula. Sedikit demi sedikit dia sering menulis. Walaupun tulisannya masih sebatas cerpen saja, tidak untuk yang lainnya seperti artikel-artikel ilmiyah, tapi dia berusaha mengambil ide untuk cerpennya tentang kejadian-kejadian alam, permasalahan-permasalahan pelik yang tidak jarang terjadi di ranah sosial. Karena sejak dulu, tanpa sengaja dia sering membaca cerita yang selalu bertemakan tentang percintaan anak-anak muda, baginya roman picisan mungkin. Dan dia punya keinginan cerpen-cerpennya bermuatan sosial, di mana didalamnya berisi pesan-pesan kemanusiaan. Jadi, walaupun dia tidak menulis artikel-artikel berat, tapi setidaknya lewat cerpen-cerpennya dia bisa mengambil inti sari yang sama dengan inti sari dari artikel-artikel berat itu.

Sampai sekarang dia masih mencoba untuk mengirimkan tulisan-tulisannya ke majalah-majalah remaja, seperti Annida, Alia.

Berangkat dari ketidakpercayaan diri itulah, dia mencoba untuk berkarya semampunya. Barangkali dari tulisan-tulisan kecil itu dia bisa mewujudkan mimpinya untuk menciptakan sebuah buku nantinya.

Banyak juga yang bilang dia mempunyai mata jeli(ehm...ehm...) dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ketrampilan tangan (woman is my soul, kali yee...). Sampai sempat juga sih, terlintas dalam otaknya untuk memilih desaigner. Ya...Desaigner.

Walaupun terkadang banyak pilihan-pilihan yang harus dijalani, dia tetap berusaha semangat. Karena hidup memang pilihan. Dengan beranjaknya usia, yang kata banyak orang adalah usia dewasa, tidak seharusnyalah dia berfikiran sempit dengan memelihara rasa ketidakpercayaan terhadap dirinya sendiri. Apapun pilihannya...fighting!!!

The pink's room, 2 maret '07

No comments: